askudra sakta

السلام عليكم ورحمةالله وبركاته

Ngarso dana upaya

Ngarso Dana Upaya

Namaku Abdullah Azzam Al Afghani. Aku lahir 17 tahun lalu. Ayah ibuku seorang pedagang, kakekku petani. Aku tinggal disebuah rumah sederhana disebuah desa kecil di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Kata Ibuku aku termasuk orang yang beruntung. Bayangkan saja, orangtuaku tak pernah repot-repot membayar uang ini-itu untuk menyekolahkanku. Pasalnya, selama di sekolah dasar, beberapa kali aku mendapatkan beastudi yang kalau diakumulasikan dapat menutup semua biaya pendidikan sekolah dasar selama enam tahun dengan asumsi SPP Rp.5.000,-/bulan.
Lulus dari sekolah dasar, rupanya keberuntungan masih tak jauh dariku. Aku lagi-lagi mendapatkan beastudi belajar penuh hingga lulus SMP dan SMA disebuah sekolah aneh di Bogor bernama Smart Ekselensia. Oleh karena itu, sejak tahun 2005 hingga saat ini(2010), aku mengais-ngais ilmu gratisan di kota hujan tersebut. Namun sejak saat itu pula aku terpisah dari orangtua dan teman-teman masa lalu yang hanya dapat kujumpai setiap libur panjang sekali setahun.
Terakhir aku pulang pada Januari lalu.Tiga minggu aku dirumah dan tak sedikit aku mendapat kabar berita kurang mengenakkan tentang teman-temanku.
Perkenankan aku menceritakan sedikit kisah beberapa temanku yang kurang beruntung yang aku temui Januari kemarin.
Wiyono alias Bedo' :Ia adalah putera petani kecil. Kini tak lagi bersekolah karena dikeluarkan dengan alasan kenakalan. Saat ini ia dan kakaknya menjadi bandar judi Billyard
David alias Kriwul :Ibunya seorang buruh cuci, ayahnya tiada. Tak lagi bersekolah karena dikeluarkan dari dua sekolah yang berbeda dengan alasan kenakalan. Kini menjadi buruh depot air minum isi ulang. Pernah mendekam di sel polres Sragen karena menabrak orang hingga mati.
Darwanti :Puteri petani. Tak lagi bersekolah. Mengikuti tradisi leluhur. Melanjutkan pekerjaan orangtua menjadi petani.
Kuswanti :Puteri petani. Tak lagi bersekolah. Alasan biaya. Telah menikah kini.
Suyitno alias Plenton : Putera seorang calo. Tak lagi bersekolah. Dikeluarkan karena kenakalan. Tak jelas kini pekerjaannya.
Andri alias Pithut :Ibunya tak bekerja. Ayahnya tiada. Tak lagi bersekolah. Setahun lalu bekerja sebagai kuli bangunan. Kini bekerja di Sukabumi, menggunting dan mengedarkan stiker.

Sugiyanto : Orangtuanya pengumpul barang rongsokan. Tak bersekolah kini. Alasan biaya. Saat ini belum bekerja.
Kris : Puteri petani. Tak lagi bersekolah saat ini, namun ia tak mau menyebutkan alasannya. Kurasa alasan biaya.
Tina Lestari : Puteri petani. Tak lagi bersekolah. Keluar karena sering diejek tidak bisa membaca Al Quran dengan baik. Saat ini tidak bekerja.
Mereka adalah 9 dari 37 teman satu angkatan denganku. Lulus SD tahun 2005. Sekarang seharusnya mereka kelas 2 SMA, saat-saat yang paling membahagiakan. Namun sayangnya saat ini mereka tak bersekolah dengan berbagai alasan. Dari sembilan orang tersebut empat diantaranya hanya memiliki Ijazah SD, sisanya cukup dengan Ijazah SMP.
Selain mereka, masih banyak temanku, baik kakak kelas maupun adik kelasku di SD yang saat ini sudah tak bersekolah.
Ketika menemui mereka satu persatu, aku bertanya, ”Apa yang bisa kuperbuat?” Maksudnya apa yang dapat kuperbuat untuk meringankan beban mereka.
Beberapa teman mengatakan bahwa baginya tak bersekolah bukanlah sebuah beban. Sekolah bukan segalanya. Bukan satu-satunya jalur untuk sukses. Bagi mereka tanpa sekolahpun yang penting bisa kerja dan menghasilkan uang. Itu sudah cukup.
Namun tak sedikit yang mengatakan bahwa mereka orang-orang kalah. Lulusan SD maupun SMP tak mampu berharap banyak. Mereka tahu itu. Mereka secara tersirat juga mengatakan bahwa mencari pekerjaan itu sulit. Mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka, itu lebih sulit.
Ketika mengetahui hal tersebut, perasaanku campur aduk. Sedih, trenyuh, haru,kasihan dan sebagainya..
Aku masih ingat dengan jelas. 5 tahun lalu, pada bulan Juli 2005, ketika perpisahan SD aku dan teman-temanku termasuk sembilan orang diatas menyanyikan sebuah senandung lagu Peterpan, Khayalan Tingkat Tinggi.
Khayalan Ini Setinggi-tingginya
Seindah-indahnya
….......
Lalu wali kelasku, Pak Suyadi bertanya pada setiap murid.
“Apa Khayalan tertinggi kalian, Cita-cita kalian untuk masa depan?”
“Saya ingin menjadi Dokter Pak!” Jawab seorang teman
“Saya ingin menjadi Polisi!”
“Saya ingin menjadi tentara!”
“Saya ingin menggantikan orang itu Pak!” Kata teman yang lain seraya menunjuk foto presiden Yudhoyono.
“Saya ingin menjadi ini”
“Saya ingin menjadi itu”
Saya ingin, saya ingin, saya ingin......
Namun seiring kejamnya waktu yang terus berjalan meninggalkan belakang, satu-persatu impian mereka, cita-cita luhur mereka, impian sembilan orang temanku harus terkubur dalam-dalam dan menjadikan mimpi mereka adalah bagian dari masa lalu yang kelam. Waktu yang berjalan 5 tahun rupanya telah begitu sempurna melumat impian-impian mereka.
Ya Allah....
Ternyata tanpa kusadari sebuah beban maha berat kini diletakkan diatas pundakku. Beban maha berat itu tak lain adalah mengentaskan mereka, teman-teman masa laluku dari belenggu kemiskinan dan penderitaan. Ini tanggung jawabku. Tanggung jawab seorang teman terhadap temannya yang membutuhkan bantuan.
Impian mereka akan kuhidupkan kembali. Itu dia.
Sebuah gagasan muncul. Aku harus memudahkan mereka mendapatkan penghasilan. Aku harus membuat sebuah perusahaan. Aku akan mempekerjakan mereka. Semua.
Kesimpulannya aku akan mendirikan sebuah perusahaan penerbitan buku, kuberi nama penerbit Aurora. Semua temanku bisa bekerja di perusahaan ini.
Ide cemerlang yang bodoh, Azzam. Kau kira mendirikan perusahaan semudah memutar jempol?
Emak bapak kau punya duit berapa?
Kau kira mendirikan perusahaan dapat dilakukan dalam waktu seminggu?
Paling tidak kau butuh waktu belasan tahun untuk mewujudkan impian cemerlang yang bodoh itu. Sedangkan mereka mungkin besok kelaparan, lusa entah menjadi apa.
Sebaiknya kau tunda dulu impian cemerlangmu itu.
Batinku berperang
Ah.... diamlah... aku sedang berpikir keras.
Oke....oke.. begini saja...aku ada ide.
Aku akan memberi mereka kail.
Bukan kail pancingan ikan.
Tapi kail untuk memancing penghasilan.
Maksudku begini: Aku akan memberi mereka peralatan dan keahlian untuk menghasilkan uang, bukan memberi mereka uang secara langsung. Aku tak suka hal itu.
Contohnya begini. Temanku Anwar suka mengutak-atik alat-alat elektronik semacam speaker bekas, ampliplayer bekas, tape dan radio bekas, CD Player bekas, dan sebagainya. Maka aku harus memberi dia keterampilan, memberi dia peralatan. Maka seminggu/sebulan kemudian di depan rumahnya akan tertulis: Dibuka: Reparasi barang elektronik. Maka mengalirlah penghasilan. Seperti itulah kiranya.
Ngarso dana upaya. Mengerahkan segala dana upaya untuk mensejahterakan teman masa lalu, karena bagaimanapun teman masa lalu telah memberiku banyak pengalaman berharga yang mungkin tak akan aku dapatkan selain dari mereka.
Itu saja kiranya sedikit kisahku. Lain waktu kusambung jika Allah berkenan.

Kategori:C/ Pelajar SMU
Nama :Abdullah Azzam Al Afghani
Kelas : XI IPS
Usia :17tahun
Sekolah : SMA SMART EKSELENSIA Lembaga Pengembangan Insani
Alamat :Lembaga Pengembangan Insani Jl Raya Parung-Bogor kec Kemang, Kab Bogor, Jabar
Telepon : 0251 8612044

2 komentar:

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
 

Posting Komentar